Selasa, 23 Oktober 2007

tulallit

TULALIT


“Tulalit… tulalit…”

“Belum bayar apa nih orang,” gerutuku dalam hati. “Dari kemarin-kemarin kok ditelepon bunyinya begini terus.”

***

Tiga hari ini aku memang sedang sibuk menelepon Diana. Hampir tiap hari aku coba. Tapi ya itu. Tulalit terus. Sebel juga jadinya. Padahal aku harus segera ketemu dengan dia. Seperti selebritis aja. Dikejar-kejar malah menghilang tak tahu rimbanya. Eh, jangan mikir yang enggak-enggak ya? Aku bukan ‘mengejar-ngejar’ dalam pengertian itu. Bukan.. bukan soal cinta kok.

Yah, aku tahu deh, kalau kalian sampai berpikiran begitu. Memang kebanyakan anak SMA, pasti bicaranya soal cinta. Tapi enggak semua kok. Jangan percaya, kalau di sinetron televisi sekarang ini, kehidupan anak remaja usia SMA digambarkan isi kepalanya seakan-akan cuma ada cowok, cowok, cowok, atau cewek, cewek, cewek melulu, itu sih kerjaan penulis skenario dan sutradaranya aja. Dalam kehidupan real enggak gitu kok. Yakin deh.

Dan sebenarnya kalian juga cukup gila kalau mengira aku bakal bercinta-cintaan dengan seseorang yang bernama Diana. Ups.. maaf, bukan aku mengata-ngatai kalian. Cuma.. eng… yah… agak tidak waras-lah kalau aku, yang bernama Rahisya Amalia, dan seratus persen cewek ini, dikira menjalin hubungan cinta dengan seseorang bernama DIANA. Memangnya aku les… Hiii… nyebutnya saja sudah serem. Kalian tahu kan maksudku?

***

“Malih, sudah dapet kabar dari Diana?” Djohan menghampiriku sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang dipotong dengan model poni lempar itu. Jangan kaget ya mendengar namanya Djohan. Agak aneh memang, nama anak remaja jaman sekarang, kok pake awalan DJ seperti ejaan lama. Tapi ya begitulah. Nggak tahu alasannya kenapa. Kalau ditanya pun Mang Bedjo cuma tersenyum lebar, kemudian memainkan hidungnya naik turun, sampai kacamatanya yang lebar seperti model tahun empat lima itu bergerak-gerak seperti sedang tertawa.

Eh iya, tadi kubilang Mang Bedjo. Itu nama panggilan khusus dariku. Kalau itu lain lagi ceritanya. Lihat bagaimana dia tadi memanggil namaku? Malih. Resek ya? Masak kenalan dengan nama Amalia malah dipanggil Malih. Waktu sebulan yang lalu aku pertama kali dipanggil begitu, aku sempat berlama-lama di depan cermin. Penasaran juga, apa wajahku mirip dengan bang Malih, pemain lenong itu? Masak sih..?

Aku memang murid baru di sekolah ini. Baru sekitar satu bulan lebih, semenjak kepindahan keluargaku ke kota Bogor yang banyak hujan ini. Maklumlah, namanya juga ayahku masih tergolong pegawai negeri. Jadi waktu bank tempatnya bekerja memutuskan memindahkan tempat tugas beliau, ya sudah, aku dan ayah–ibuku, pokoknya sekeluarga deh, boyongan ke kota Bogor ini. Buatku sendiri tidak ada kesulitan yang cukup berarti untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Santai saja. Toh, pasti akan banyak teman baru menungguku. Dan benar saja kan? Buktinya sebagai murid baru, dengan cepat aku bisa kenal cukup dekat dengan Mang Bedjo, yang punya jabatan Ketua OSIS di sekolahku. Di kelasku juga ada beberapa orang yang langsung akrab denganku. Asyik kan?

Eh, tapi biar murid baru, aku sudah cukup beken lho. Hehe.. boleh bangga sedikit dong ya. Tapi bener kok, seminggu pertama aku habiskan dengan berkeliling satu kelas - demi kelas untuk diperkenalkan pada murid-murid lain di sekolah ini. Ini sih bukan mauku. Tapi maunya KepSek. Rupanya beliau merasa beruntung, karena aku yang juara lomba debat nasional saat mewakili SMA-ku dulu, kemudian pindah ke sekolah ini. Jadi deh aku dibawa ke kelas-kelas, katanya sih agar memotivasi teman-teman yang lain.

Dan reputasi juara nasional itu ternyata memang punya efek juga. Kalau kata anak remaja sekarang : “ngepek” atau “ngaruh”. Kebetulan bulan depan atau berarti dua minggu lagi, akan ada lomba debat antar sekolah sekotamadya di kota ini. Entah apakah lomba semacam itu memang sudah biasa diadakan, atau baru sekarang ini, dan entah pula apakah sekolah ini dulu memang sudah pernah mengikuti, atau baru mengikuti karena ada aku di sekolah ini, aku nggak tahu.

Hehehe…bukan Ge-eR lho. Belum nyari tahu sampai ke situ sih. Tapi yang jelas, dengan gelar juara nasional itu, aku langsung menjadi salah satu anggota tim yang akan dikirim. Akibatnya minggu-minggu ini aku cukup sibuk diperkenalkan dengan teman-teman satu tim dan membuat persiapan-persiapan untuk mengumpulkan materi latihan. Djohan alias Mang Bedjo yang jadi Ketua Osis, ditunjuk sebagai pimpinan rombongan tim kami. Istilah bekennya sih non-playing captain, alias kapten tidak bermain. Itu juga sebabnya mengapa kemudian aku jadi kenal cukup dekat dengan dia.

Oh, iya belum sempat cerita kenapa kupanggil Mang Bedjo ya..?
Djohan memang cocok jadi ketua OSIS. Anaknya supel. Bukan suka pelototin orang lho. Sebaliknya malah. Kelihatan banget kalau dia akrab dengan satu sekolah. Mulai dari murid kelas satu sampai kelas tiga, rata-rata dia kenal namanya satu persatu. Hebat nggak? Sifat supelnya juga yang tergambar waktu diperkenalkan denganku. Dia bilang begini,

“Oke Rahisya Amalia. Saya janji kamu akan cepat akrab dengan saya dan teman-teman lain di OSIS. Nah, supaya kita lebih akrab, saya nggak akan memanggil kamu Rahi, atau Amal, tapi saya akan panggil kamu dengan panggilan akrab : Malih ! Bagaimana?” Bayangin, dia menyebut nama pemain lenong itu buat seorang cewek manis yang berjilbab, sambil tersenyum lebar pula!. Mau marah nggak ngedengernya?
Tapi jangan anggap remeh aku. Predikat Juara debat nasional, itu kan bukan tanpa alasan. Pada dasarnya aku memang mudah berbicara dan mendebat orang lain. Jadi spontan saja aku balas,

“Nggak pa-pa kok. Tapi saya juga akan memanggil dengan panggilan akrab : Mang Bedjo.. Bagaimana?”

Pertamanya Djohan agak terkejut juga. Biar rasa! Emang enak nama bagus-bagus diganti. Hehehe… Tapi dasar anaknya supel, terhitung cuman dua detik dia sempet melongo, sampai mulutnya membentuk huruf bundar itu. Di detik berikutnya ia malah tertawa keras-keras,

“Bagus-bagus.. Bagus banget tuh. Nama paling kreatif yang pernah saya dengar. hehehe.. Anak-anak sini kurang kreatif. Mereka biasanya memanggil saya dengan mengeja huruf depan nama saya. Kamu tahu nama saya berawalan DJ seperti huruf J ejaan lama?”

Sebenarnya sih aku baru tahu saat itu, tapi aku mengangguk saja mengiakan. Jadi saat itu aku tahu bagaimana cara teman-teman lain memanggil sang Ketua OSIS ini : De-Jo-han. Bisa menyebutnya? Seperti membaca The Johan. Begitu.

Lomba Debat tinggal dua minggu lagi, tapi sampai sekarang pasangan debatku belum juga nongol. Kalian bisa menebak? Yup! Seratus buat yang menebak Diana jadi pasangan debatku. Lomba debat kali ini memang formatnya dua lawan dua. Dari sekolahku mengirim tiga tim, Aku, Rahmat, Dewi, kami bertiga dari kelas III-IPS, dan Diana, Indah serta Wahyu dari kelas III-IPA. Masing-masing tim berpasangan anak IPS dan IPA. Rahmat dengan Indah, Dewi dengan Wahyu dan Aku sendiri dengan Diana. Seperti kubilang tadi, Djohan alias Mang Bedjo jadi non-playing captain.

Soal ini sempat jadi bahan bercanda buatku dan teman-teman satu tim. Kalau dipikir-pikir, tugas non playing captain saat pertandingan nanti adalah membawakan semua keperluan tim yang bertanding. Sekali-sekali asyik juga melihat Ketua OSIS jadi tukang angkut. Bahkan aku dan teman-teman sudah punya rencana ngerjain Mang Bedjo, untuk mondar-mandir membelikan minuman saat pertandingan nanti

Ah, pertandingan itu seperti sudah didepan mata. Tapi ya itu dia. Diana sampai hari ini belum nongol juga. Aku sempat dua kali meminta pada Mang Bedjo untuk mengganti dengan murid lain. Rasanya tidak mungkin bisa berhasil, kalau sampai batas waktu sedekat ini, aku belum juga mengenal pasangan debatku. Tapi Mang Bedjo menolak. Katanya yang sepadan denganku ya Diana itu.

Eh, aku sudah ceritakan kalau aku belum mengenal Diana? Belum ya?
Sejak aku masuk sekolah ini, Diana sudah tidak masuk. Entah kenapa. Ada yang bilang sih katanya dia habis mewakili Indonesia untuk mengikuti Jambore Pramuka Internasional yang tahun ini diadakan di Australia. Tapi katanya lagi Jambore itu berakhir tepat dua minggu lalu. Jadi semestinya dia sudah masuk sekarang. Entah apakah dia sakit atau kenapa, tidak ada yang tahu. Aku benar-benar buta soal pasangan debatku ini. Setiap kutanya teman-teman siapa sebenarnya Diana, seperti apa orangnya, mereka malah tertawa-tawa geli sendiri. Aku sempat heran. Mang Bedjo cuma berkomentar singkat,

“Malih, Diana pokoknya sip deh..! Kualitas kamu cuma bisa diimbangi sama dia. Jadi nggak akan saya kasih kamu berpasangan dengan yang lain.”
Tapi ketika seminggu persiapan berjalan, dan aku belum juga melihat batang hidungnya si Diana ini, aku jadi grogi sendiri. Sudah dua kali aku mengajukan usul penggantian anggota tim. Bahkan yang kedua diiringi ancaman, kalau aku yang akan mengundurkan diri. Tapi Mang Bedjo malah memberi tugas padaku,

“Nih nomor telepon Diana. Sebagai pasangan debatnya, kamu bertanggung jawab untuk menghubungi dia sampai dia masuk sekolah. Kita masih punya waktu dua minggu plus tiga hari. Jadi cepat kamu suruh si dogol itu nongol di sekolah.”
Itu tiga hari yang lalu, dan sejak tiga hari itu aku setiap pulang sekolah berusaha menelepon Diana. Tapi hasilnya nihil. Sampai hari ini hasilnya tetap tulalit, dan Mang Bedjo setaip hari masih bertanya pertanyaan yang sama, "Malih, sudah dapet kabar dari Diana?”

***

“Belum dapet Mang Bedjoo… Dari kemarin Lia sudah bilang, nomor yang Mang Bedjo kasih salah kali? Kok tulalit melulu?”

“Tulalit ya..?”

“Astagfirullah al adziim.. He-eh.. kuping Mang Bedjo memang ditaruh di mana? Kan sudah tiga hari ini Lia lapor. Tiap di telepon tulalit melulu”
Djohan tampak berpikir-pikir.

“Gini deh.. saya coba dateng ke rumahnya aja kali ya..? Cuma rumahnya jauh banget non. Noh.. di Cipayung. Itu sih sudah masuk kawasan Puncak. Udah gitu jalan masuknya, kayak jalan pedesaan. Nggak ada angkot!”

“Hah? Sekolah di Bogor, rumahnya di Puncak? Naik apa kalau ke sekolah?”

“Yee… kalau sehari-hari dia kost di rumahnya Afu, Tuh di depan sekolah”
Afu adalah nama anak pedagang kelontong di depan sekolah. Selain berjualan kelontong dan peralatan sekolah, rumahnya juga menyediakan kamar-kamar untuk disewakan buat anak-anak yang berasal dari luar daerah. Salah satu anggota tim, Rahmat, yang berasal dari Lampung juga kost di rumah itu.

“Ooh.. gitu. Lia kan nggak tahu Mang Bedjoo. Nggak ada yang pernah ngasih tahu sih.”
Djohan kembali terlihat berpikir keras. Beberapa kali ia meniup poninya yang turun menutupi kaca-matanya.

“Djo.. gimana dong? Diem melulu? Apa nggak diganti aja? Ini udah tinggal empat belas hari lho Mang Bedjo..?” Sengaja aku mengingatkan dengan nada yang mendesak. Biar cepet ambil keputusan. Kalau enggak kan reputasiku juga yang dipertaruhkan. Iya nggak?

“Gini deh.. Lia coba telepon lagi sore dan malam ini. Kalau besok belum ada juga. Nanti kita cari gantinya. Djo sudah tahu kok siapa calon yang kira-kira bisa diambil buat menggantikan dia.”

“Siapa..?”

“Mang Bedjo sendiri dong…” Senyum lebar kembali muncul di wajahnya.
Dasar Mang Bedjo. Jangan sampe deh dia yang jadi pasangan debatku. Nggak jadi kusuruh-suruh beliin minum soalnya. Hehehe…

***

“Tuuut… tuuuutt.. tuuuuutt!”
Nah bisa! Alhamdulillah.. Hebat benar Mang Bedjo. Didoain apa nih, kok tiba-tiba telepon hari ini bisa masuk?

“Haloo, asalamualaikum..”terdengar suara seorang Ibu di seberang sana. Kaget juga aku. Mencoba tidak terdengar gugup, aku malah jadi bingung. Bagaimana ya? Aku kan belum kenal sama sekali dengan Diana?

“Waalaikum’salam. Selamat sore bu.. Bisa bicara dengan Diana?”

“Diana?” Suara Ibu di seberang terdengar agak bingung. Astaga, sial deh aku! Jangan-jangan salah sambung nih.

“Engh.. Saya murid SMA satu ‘bu. Putri ibu ada yang sekolah di SMA satu juga?”

Ibu itu terdengar tertawa kecil, “Saya tidak punya putri, adik ini siapa..?”

Kuturunkan gagang telephone dari telingaku. Kuperiksa nomor di layar digital pesawat teleponeku dan kucocokan dengan kertas bertulis nomor telepon Diana yang diberikan Bedjo. Cocok kok? Heh ! Pasti Bedjo salah ngasih nomor nih.. pantes aja dari kemarin tulalit melulu.

Segera kuangkat telepon itu ke telingaku. Tidak perlu lagi berlama-lama,
“Maaf ya buu, rupanya saya salah sambung. Wassalamualaikum”

Tanpa menunggu jawaban salam, aku menutup gagang telepone.

Awas si Mang Bedjo besok! Huh! Kalau saja dia punya telepone, sudah kutelepon sekarang dan kumarah-marahi keteledorannya. Masak gara-gara ini waktu tiga hari terbuang percuma. Kalau aku sampai kalah dalam lomba tingkat sekotamadya… mau ditaruh di mana mukaku?

***

Esoknya, Mang Bedjo duduk dengan santai di lantai depan ruangan OSIS. Kutepuk dia keras-keras dengan map yang kubawa. Bukkk!! Bukan nepuk sebenarnya, lebih tepat sih menggebuk ! Tak heran dia sekarang meringis kesakitan. Rasain !

“Mang Bedjo! Nomornya salah sambuuungg!!”

Sebentar kulihat dia masih meringis kesakitan memegangi pundaknya yang baru jadi sasaran kekesalanku.

“Malih! Kamu nggak waras ya..? Salah sambung gimana sih? Udah bertahun-tahun saya nelepon si dogol itu ya pake nomor itu!” katanya agak menjerit.

“Heh! Lia apa Mang Bedjo kali yang nggak waras? Lia telepon kemarin katanya nggak punya anak cewek di rumah itu. Nggak percaya? Coba aja telepon sendiri! Ayo kita pinjem telepon ke kantor Kepala Sekolah. Lia yang pinjemin kalo Mang Bedjo nggak berani”, sahutku sangat kesal.

Bedjo mengendorkan tangannya, lalu mengibas-ngibaskan seperti ingin membuang rasa sakit. Hm.. Memang rasa sakit bisa hilang dengan begitu? Rasain.. rasain.. rasain..!

“Djo sudah telepon kok, tadi malam. Sebentar lagi juga dia datang. Katanya habis jambore dia jaga Bapaknya yang dioperasi di Australi. Makanya sekeluarga nambah nginep di Australi dua minggu lebih. Telepon rumahnya dicabut, jadi bunyinya tulalit. Tapi pokoknya hari ini dia masuk. Jadi Malih tenang aja..” Bedjo berdiri dan melongok mencari-cari seseorang.

“Noh, dia… “ katanya menunjuk seseorang yang datang sambil tersenyum-senyum simpul.

Alamak..?? Kok Cowok???

Bedjo tersenyum melihatku bengong.

“Itu kenapa anak-anak merahasiakan sama kamu, siapa sebenarnya Diana.. hehehe.. Biar jadi kejutan. Kenalin tuh.. namanya Mahesa Rahadiana, dipanggilnya sih Dian, atau Hadi alias si dogol ! Jadi kalo kamu kira dia cewek, kamu yang TULALIT.”

Reflek aku kembali melayangkan map-ku ke pundak Bedjo. BUKK!!

Rasain !